Friday 19 August 2016

Hadits Kontemporer

EVOLUSI SUNNAH
PERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
(Antara Tradisionalis dan Orientalis)


PENDAHULUAN
Hadis merupakan warisan berharga bagi umat Islam, karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran  dan interpretasi dari  kehidupan Nabi saw,  sabda, perilaku dan sikap Nabi saw, dan terkadang menjadi hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah  untuk memberikan petunjuk kehidupan  yang benar kepada umatnya.[1]
Karena demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari kalangan yang berupaya untuk meneliti hadis kembali dengan berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum orientalis dan juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis. Berbagai perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadis menghasilkan temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri. Dan, jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah dimulai dari pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’, maupun orientalis. 
Dari sejumlah definisi hadis dan sunnah, terutama perspektif muhadditsun dan ushuliyun, tidak seorang ulama pun yang mengajukan definisi hadis dan sunnah sebagai segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, tetapi selalu mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi. Dalam konteks ini, para ulama selalu memberikan kata “yang disandarkan” (ma udzifa/ ma usnida), “yang dinukil” (ma nuqila), “yang diriwayatkan “ (ma ruwiya), “yang bersumber” (ma shudira), dan sebagainya. Tentunya hal ini berbeda dengan ketika mereka mendefinisikan al-Quran yang semuanya sepakat bahwa al-Quran adalah kalamullah, bukan kalam yang disandarkan kepada Allah. [2]
Hadis yang mayoritas diriwayatkan tidak secara mutawattir, menjadikan posisi dan otoritas kesumberannya tidak meyakinkan berasal dari Nabi. Oleh karena itu, sangat tepat difinisi yang diajukan ulama’, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang berani menjamin kepastian bahwa semua hadis itu berasal dari nabi. Hal itu juga dapat dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian  para ulama dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW.[3]
Bila ditelusuri lebih lanjut, hadis dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda. Dalam  khazanah ilmu hadis ditemukan beberapa istilah yang dari sisi terminologis memiliki pengertian yang sama, yakni hadis, khabar, atsar dan sunnah. Setidaknya menurut mayoritas ulama’ hadis, keempat istilah tersebut dianggap sinonim, sehingga dalam pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara sebagian ulama beranggapan bahwa tiap-tiap istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang berbeda.[4]
 “Hadis” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang aslinya berbunyi hadis atau al-hadis.  Al-Fayumiy (w. 770H) telah mengartikan kata hadis dengan: yang baru, apa-apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan, dekat atau menjelang, Jamal al-Din Muhammad bin Manzhur yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Manzhur (630-711 H) secara redaksional telah mengartikan kata hadis jika dilihat dari segi bahasa berarti: sesuatu yang baru, berita yang datang baik sedikit atau banyak. Pakar ilmu hadis modern Muhammad ‘Ajaj al-Khathib dalam dua buah bukunya, dengan tegas mengartikan kata hadis dari segi bahasa dengan الجديد (yang baru) dan القريب (dekat). Hadis diartikan (جديد) dalam arti bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya al-Quran yang bersifat (قديم) berarti yang terdahulu.[5]
Sunnah dalam arti bahasa adalah al-Thariqah al-Maslukah atau al-Sirah, artinya ialah jalan yang ditempuh atau perjalanan, baik terpuji atau tercela. Sunnah dengan pengertian seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah. Betapapun ulama pada umumnya secara substansial menyamakan arti sunnah dengan hadis (jika dilihat dari segi istilah). Namun, secara esensial antara keduanya ada perbedaan, walaupun keduanya bersumber dari yang sama yakni Rasulullah.[6]
Dalam jurnal ini, peneliti memberikan sumbangsih kajian dalam menyelami pemikiran Fazlur Rahman tentang evolusi sunnah. Evolusi merupakan ilmu yang mempelajari perubahan yang secara berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai dengan masa dan tempat. [7]
Hadis yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu pernyataan singular di sekitar Rasulullah Saw.
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji sunnah dalam konteks evolusi historisitas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan muslim yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang skeptis terhadap sunnah dan hadis. [8]
Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri dan para orientalis. Maka dari itu, dalam jurnal ini pembahasan difokuskan menjadi: 1) Bagaimana respon Fazlur Rahman terhadap validitas sunnah, dan 2) Bagaimana konsep evolusi sunnah menurut Fazlur Rahman.
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari negara Pakistan pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak. Rahman dilahirkan di tengah keluarga yang berlatar belakang mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih rasional ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki, dsan Hambali. Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang menanamkan pendidikan dasar keagamaan.
Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab untuk selanjutnya mengembangkan pemikirannya. Sekolah modern dia masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan BA pada 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran diraih pada 1942 di universitas yang sama.
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris. Keputusan ini tergolong berani, sebab terdapat anggapan bahwa aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit diterima kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup menghalangi Rahman. Pada 1946 dia masuk Oxford University, dan menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950.
Selama studi, dia berkesempatan mempelajari bahasa-bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki, di samping Arab, Urdu, dan Persia. Setamat dari Oxford, Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia memilih menjadi pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada 1950-1958. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, dia pindah ke McGill University di Kanada dan menjadi associate professor pada bidang Islamic Studies.
Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di tangan Ayyub Khan yang modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan karier akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968). Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam, sebuah lembaga. pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan. Saat-saat itu memberinya kesempatan untuk meninjau praktik kekuasaan dari dekat. Di masa itu pula dia memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasa-gagasannya. 
Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago. Tapi sebenarnya pada 1968 Rahman sudah diterima sebagai dosen di Universitas California. Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak karya. Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya hingga wafat pada 26 Juli 1988. Selama 18 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida yang melambangkan punak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern Studies Universitas California.[9]

KEGELISAHAN AKADEMIK FAZLUR RAHMAN TENTANG SUNNAH
Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis ketika ia berada di Barat dan respons terhadap ulama Islam tradisonal dan fundamental yang menghujatnya sewaktu  ia berada di Pakistan, juga sebagai respons terhadap tokoh Islam  modernis.[10]
Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat bernilai bagi dogma, konflik, dan perhatian muslim belakangan yang telah menyebarkan hadis. Skeptisisme Goldziher ini kemudian diadopsi oleh Leone Caetani dan Henri Lammens, dengan menyatakan dengan menyatakan bahwa hampir semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah meragukan (apocryphal). [11]
Namun, ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya sebagai norma norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan. Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang hidup. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam  dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah  menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam berakhir.
Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht. Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-Syafi‘i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syafi‘i, sunnah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktik yang disepakati secara umum. Menurutnya “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in, kemudian pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.[12]
Menurut ‘Azami,  dibanding dengan pendahulunya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht memiliki keunggulan. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.[13]
Di sisi lain, kenyataan bahwa hadis dan sunnah digunakan secara literal  dan dianggap sebagai satu patokan harga mati, menjadi kegelisahan Fazlur Rahman. Karena bagi Rahman, hadis dan sunnah seharusnya bergerak dinamis sesuai dengan ruang dan waktu . Terlebih bila kita melihat pada masa awal-awal perkembangannya, sunnah begitu hidup dan penafsirannya senantiasa berkembang. Namun dalam perkembangan berikutnya, tepatnya ketika muncul aksi penutupan pintu ijtihad di masa-masa pertengahan, sunnah dan hadis lantas menjadi mati, beku dan seolah tak memiliki daya gerak. Sehingga Rahman berpendapat, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun taqlid atau menerima otoritas secara mentah-mentah berkembang sedemikian suburnya hingga secara praktis, ijtihad menjadi tidak ada [14]
Kemandegan ijtihad ditengarai Rahman sebagai penyebab kemandegan intelektual yang terjadi pada para sarjana muslim. Hal ini memang setidaknya bisa dilihat dari masa kemunduran fiqih Islam yang berlangsung pada abad ke empat bahkan jauh sebelumnya pada abad kedua. Pada abad-abad tersebut memang masa munculnya madzhab-madzhab. Imam Syafi’I, disebut-sebut sebagai salah satu actor intelektual yang berada dibalik agenda ditutupnya pintu ijtihad melalui program qiyas maupun ijma’nya.[15]
Menurut Rahman, pada masa sahabat periode I, umat Islam menggunakan dua sumber yakni al-Quran dan sunnah dengan sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan Islam menjadi formal, kaku, dan normative. Hadis oleh para ulama dipegang sebagai sesuatu yang given dan harga mati, dengan menafikan suasana historis dan gerak dinamis yang ada pada suatu hadis, terutama berkaitan dengan hadis-hadis muamalah. Padahal sebenarnya menurut Rahman, hadis itu muncul belakangan setelah adanya gerakan pencarian hadis. Sebelumnya hadis-hadis tersebut masih berupa sunnah yang hidup dengan tradisi oral, yang di kemudian hari sunnah itu menjadi sebuah konsensus (ijma’) yang dinamis dan hidup.[16]
Di tengah kegelisahannya, kemudian Rahman menjelaskanbeberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap hadis. MenurutRahman, mereka menemukan:
1)                      Bahwa sebagian besar kandungansunnah merupakan tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadatpra Islam;
2)                      Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakanhasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam awal yang,dengan ijtihad, telah membuat beberapa deduksi dari sunnah dan menambahkan elemen-elemen baru, terutama dari sumber-sumberYahudi dan praktik pemerintahan Bizantium serta Persia
3)                      Ketika hadis berkembang menjadi gerakan yang besar dan menjadifenomena massif pada akhir abad  kedua, khususnya abad ketiga H,seluruh kandungan sunnnah yang awal dihubungkan secara verbalkepada Nabi di bawah lindungan konsep sunnah.[17]


KONSEP SUNNAH MENURUT FAZLUR RAHMAN
Pemikiran para orientalis tentang teori evolusi direspons oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan  teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan  kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya, konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam  pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa.
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para orientalis. 
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada ‘Abd al-Malik bin Marwan,  Rahman juga mengutip kebiasaan Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih dahulu riwayat hadis dalam menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,” kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah yang kita akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.”
 Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara akhir abad pertama sampai awal abad kedua H. Di dalam syair terdapat “sunah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah. Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah. Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. [18]
Dengan demikian, al- Qur’an dan sunnah terdapat pertalian yang utuh. Data-data historis yang diungkap oleh Rahman tentang validitas sunnah sebagai  jawaban terhadap tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian sumbangan besar Rahman dalam diskursus kontemporer.
Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah_ sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini. Hal ini penting dilakukan mengingat aneka ragam unsure dalam hadis dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan selaras dengan perubahan-perubahan kondisi social moral saat ini. Penafsiran situasional dan historis dalam bentuk sunnah yang hidup akan membuat kaum muslim dapat menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk kepentingan kebutuhan zamannya. [19]

EVOLUSI SUNNAH FAZLUR RAHMAN
Ulama muhaddisin sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya berpandangan bahwa hadis dan sunnah merupakan dua hal yang identik.  Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang nabi. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa hadis dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda.
Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan tiga tokoh berikut, yakni Sufyan al Sawriy (w. 161 H), al-Auza’y (w. 157 H), dan Malik bin Annas (w. 179 H). Seorang kritikus terkenal ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (w. 198 H) mengatakan: Sufyan al-Sawriy adalah pakar dalam hadis tetapi bukan pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadis, sedang Malik adalah pakar dalam keduanya. [20]
Berbeda dengan kalangan ahli hadis (tradisionist), yang mengidentikkan pengertian antara sunnah dengan hadis, Fazlur Rahman melalui pendekatan sejarah membedakan pengertian keduanya secara jelas. Dengan meneliti data-data sejarah, Rahman mengemukakan teorinya tentang asal usul perkembangan sunnah secara sistematis.
Dalam penelitian yang  ia lakukan, Rahman sampai berkesimpulan bahwa sunnah dalam konsepsi awalnya mengandung tiga kategori, pertama ialah sunnah ideal yaitu sunnah (tradisi praktikal)  dan hadis (tradisi verbal) yang ada secara bersama dan memiliki substansi yang sama. Keduanya dinisbatkan dan diarahkan kepada Nabi dan memperoleh normatifitas dari beliau.
Kedua, adalah living tradition (tradisi yang hidup), yakni bermula dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiran-penafsiran sehingga menjadi praktek actual masyarakat muslim. Sebagai praktek actual dari masyarakat yang hidup, maka living tradition tersebut secara terus menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan.  Modifikasi dan perubahan-perubahan ini sebagai implikasi dari perkembangan masyarakat yang bertambah luas dengan cepat sehingga menimbulkan persoalan-persoalan dan situasi-situasi controversial yang pada gilirannya mendorong munculnya problematika-problematika hokum, moral, dan teologis yang komplek.
Ketiga, adalah kesimpulan yang ditarik dari keduanya. Artinya, dari sebuah hadis atau laporan sunnah beberapa pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran. Norma-norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara implicit terlihat dalam sunnah tersebut.
Jadi dalam pandangannya, konsep sunnah memuat di dalamnya tradisi yang hidup di tengah-tengah  masyarakat muslim (living tradition). Tradisi tersebut bersumber dari sunnah Nabi (sunnah ideal yang diinterpretasi secara kreatif oleh ra’yu dan qiyas (ijtihad). Pada waktu itu berkembang secara pesat ijtihad personal, yakni aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang juga disebut ra’yu atau personal considered opinion (menurut istilah Rahman) ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang hokum religious dan  moral pada kira-kira abad pertama dan awal abad kedua hijriyah. Instrumen inilah yang digunakan oleh generasi-generasi muslim di masa lampau sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang menjadi sebuah peraturan tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia.[21]
Rahman juga mengungkapkan bahwa dalam perkembangan Islam yang cukup panjang, hadis merupakan verbalisasi dari konsep sunnah. Sunnah merupakan sebuah bentuk perilaku yang bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis, dan material. Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan, diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini, sunnah dengan sendirinya secara terus menerus mengalami evolusi dari generasi ke generasi. Dengan begitu sunnah harus dipandang sebagai sebuah teladan, bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak.
Ia juga mengemukakan, hadis dalam perkembangannya mengalami tiga fase, yaitu: fase informal, semiformal, dan formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para sahabat. Proses periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis. Karena salah satu peranan  hadis yang memberikan bimbingan dalam praktek actual masyarakat waktu itu sudah terpenuhi oleh Nabi.
Fase semiformal terjadi seteah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada fase ini, penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim, penyebaran hadis menjadi sebuah kesengajaan. Pada masa ini, penafsiran bebas terhadap hadis Nabi oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan dan kondisi yang mereka hadapi pun menjadi sebuah keniscayaan, sehingga muncullah apa yang disebut sebagai “living sunnah”. Dampak dari perkembangan hadis secara semiformal adalah munculnya perbedaan praktek yang actual (living sunnah) di berbagai daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling bertentangan.
Fase yang ketiga adalah fase formal. Fase ini menurut adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh dunia Islam. Fase ini menyebabkan sunnah yang hidup yang bersifat dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus terhadapnya menjadi corpus tertutup, baku-baku dan stagnan serta dianggap sebagai keputusan dan ketentuan yang bersifat final demi sebuah alas an untuk keseragaman dan penyatuan umat. Gerakan ini, dipelopori oleh al-Syafi’I yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas hokum dan menumbangkan hadis-hadis palsu yang pada waktu itu merajalela. Namun saying, pada fase inilah sunnah yang semula bersifat dinamis menjadi baku-baku. [22]
 Menurut Rahman, umat Islam saat ini memerlukan upaya metodologis demi mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Dalam bukunya Membuka Pintu Ijtihad, buku ini ditulis sekurang-kurangnya untuk memperlihatkan: pertama,  evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam –al-Quran, sunnah, ijtihad, dan Ijma’.  Kedua,  peran actual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri, Rahman setidaknya menemukan beberapa penemuan, 1) dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadis. 2) sunah nabi merupakan sunnah yang ideal, dan sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. 3) sunnah merupakan sebuah fenomena praktisyang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan hadis tidak hanya menyampaikan norma-norma hokum tetapi juga keyakinan dan prinsip religious.[23]
Bereda dengan Jalaluddin Rahmat, ia mengatakan bahwa yang beredar pertama kali di kalangan kaum muslim adalah hadis, bukan sunnah sebagaimana yang diungkapkan oleh Fazlurrahman. Asumsi ini didasari oleh data hisoris bahwa sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadis sudah ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua model pemikiran di atas, sebenarnya dapat dikompromikan. Karena pada kenyataannya tradisi hadis dan sunnah terjadi secara bersamaan. Hadis yang disebut Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Nabi. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah satu sahabat untuk menuliskan khubah yang baru saja disampaikannya, atas permohonan dari Abu Syah. Demikian juga sunnah tetap dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk sunnah yang hidup ke dalam bentuk hadis mmenjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. [24]

POSISI FAZLUR RAHMAN DALAM PEMIKIRAN HADIS DAN SUNNAH
Gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis tidaklah bisa dipisahkan dari beberapa pemikiran dan hasil penelitian pendahulunya baik yang muslim atau non muslim, karena berdasarkan penelusuran, tampak bahwa pemikiran Rahman ini merupakan hasil elaborasinya terhadap konsep sunnah dan hadis dari kalangan ulama klasik, fundamentalis-tradisionalis, modernis dan orientalis.
Konsep Rahman tentang sunnah dengan mengupayakan konsep pemahaman terhadap sunnah sebagaimana yang dilakukan kaum muslim awal sebenarnya telah dimunculkan oleh Imam al-Syatibi (w. 790 H) pada abad ke 8 H.
Dari sini dapat dikemukakan bahwa teori Rahman tentang sunnah dan hadis ternyata senada dengan teori al-Syatibi ini,  karena jika dikaji terdapat beberapa kesamaan prinsipil antara keduanya. Sunnah dalam pengertian apa-apa yang dating dari Nabi adalah sunnah ideal dalam terminology Rahman, sedang amal shahabah baik yang ditemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau hanya sekedar hasil ijtihad yang mencapai kualitas ijma’ (ijtihad yang disepakati) oleh sahabat atau generasi berikutnya disebut Rahman sebagai “living sunnah”.
Disamping itu, sebagaimana dijelaskan dalam kegelisahan akademik Rahman tentang sunnah dan hadis sebenarnya merupakan respon imtelektual terhadap hasil penelitian orientalis orientalis Barat semisal Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Margoliouth dan Snock Horgonje mengenai sunnah dan hadis yang kesemuanya mengumandangkan suara dengan nada dasar sama yaitu skeptisme terhadap konsep sunnah dan hadis.
Terhadap konsep sunnah dan hadis klasik, Rahman jelas-jelas menentang. Sejak awal Rahman memang berbanding terbalik dengan muhaddisin yang mengidentikkan sunnah dengan hadis. Sebenarnya memang tidak lah tepat, jika sunnah diidentikkan dengan hadis, meskipun secara substansial memang identik. Meletakkan konsep sunnah semaqam dengan hadis akan banyak menimbulkan kerancuan. Jadi dengan demikian identifikasi sunnah pada hadis adalah benar secara substansial tetapi salah secara konseptual.
Dalam dataran ini, Rahman sebagaimana pemikir modern lainnya tidak menghendaki hadis sebagai satu-satunya wahana transmisi bagi sunnah Nabi. Rahman juga tidak menghendaki hadis-hadis teknis yang ada sekarang ini, sebagaimana termuat dalam dalam kitab-kitab hadis, difahami secara harfiyah dan literal.
Metode kritik terhadap hadis yang digunakan ulama-ulama klasik klasik untuk menentukannkeshahihan dan historisitas hadis dianggapnya tidak valid. Pemikiran Rahman ini cukup beralasan, mengingat perkembangan hadis di masa lampau, lewat pendekatan sejarah (historitical approach) sebagaimana dikemukakan Goldziher, berjalan parael dengan doktrin-doktrin madzhab fiqih dan teologis yang kadang-kadang sering bertabrakan, sehingga hadis-hadis yang baru berkembang setelah abad ke 2 H terdapat kemungkinan diformulasikan sedemikian rupa berdasarkan vested interst tertentu setelah melewati tarik-menarik kepentingan politis, teologis dan madzhab yang kompleks.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang sunnah dan hadis baik dari kalangan tradisionalis, modernis dan Barat. Menurut Musahadi HAM, Rahman cukup memiliki perangkat ilmiah kualified untuk mengelaborasi ketiga tradisi pemikiran tersebut.



PENUTUP
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct).Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini.
Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara historis dan merupakan konsep yang valid, tidak sebagaimana dituduhkan para orientalis bahwa sunnah adalah buatan ulama muslim abad kedua dan ketiga hijri. Hadis merupakan evolutif dari sunnah, yang dimulai dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar di kalangan umat muslim. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. Dan dalam posisis pemikirannyatentang sunnah dan hadis, merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang baik dari kalangan tradisionalis, modernis dan Barat













[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
[2] Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 8

[3] Ummi Sumbulah, hal. 9
[4] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011), hal. 59
[5] H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN Purwokerto Press: Yogyakarta, 2010), hal. 1-2
[6] H.M. Dailamy, hal. 7
[7] Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalam http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-FKIP-UNS.pdf&ei=VGR_Vc_lKcH8mAXQt4CQBg&usg=AFQjCNFizKIRtPBw5LQL9cXRYvwwUPx56w&sig2=STPHgMai8-0eASdRR8whvA&bvm=bv.95515949,d.dGY
[8] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 176
[9]Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran, jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
[10] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 179
[11] Kamarudin Amin dalam Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 170
[12] M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 45
[13] M.M. Azami, dalam kata pengantar
[14] Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 76
[15] Saifuddin, hal. 79
[16] Saifuddin, hal. 82
[17] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 181
[18] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, hal. 183-184
[19] Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[20] Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman-, (Semarang: Wali Songo Press, 2009), hal. 32
[21]  Musahadi HAM, hal. 94-95
[22] Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[23] Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, hal. 86-87
[24] Rahmat dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 25

1 comment:

  1. Bonuses And Sign-Up Bonuses At The Online Casino Site
    A huge selection of 메리트카지노 welcome bonuses are available for 카지노사이트 new players at the online casino site. Bonuses can be worth up to €250 메리트카지노 and welcome

    ReplyDelete