EVOLUSI SUNNAH
PERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR
RAHMAN
(Antara Tradisionalis dan
Orientalis)
PENDAHULUAN
Hadis merupakan warisan
berharga bagi umat Islam, karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran dan interpretasi dari kehidupan Nabi saw, sabda, perilaku dan sikap Nabi saw, dan
terkadang menjadi hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi
sebagai pembawa risalah untuk memberikan
petunjuk kehidupan yang benar kepada
umatnya.[1]
Karena
demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari kalangan yang berupaya untuk
meneliti hadis kembali dengan berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum
orientalis dan juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis. Berbagai
perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan sanad maupun
matan hadis menghasilkan temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri.
Dan, jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah dimulai dari
pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’,
maupun orientalis.
Dari
sejumlah definisi hadis dan sunnah, terutama perspektif muhadditsun dan
ushuliyun, tidak seorang ulama pun yang mengajukan definisi hadis dan sunnah
sebagai segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, tetapi selalu
mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang
disandarkan kepada Nabi. Dalam konteks ini, para ulama selalu memberikan kata
“yang disandarkan” (ma udzifa/ ma usnida), “yang dinukil” (ma nuqila),
“yang diriwayatkan “ (ma ruwiya), “yang bersumber” (ma shudira),
dan sebagainya. Tentunya hal ini berbeda dengan ketika mereka mendefinisikan
al-Quran yang semuanya sepakat bahwa al-Quran adalah kalamullah, bukan kalam
yang disandarkan kepada Allah. [2]
Hadis
yang mayoritas diriwayatkan tidak secara mutawattir, menjadikan posisi dan
otoritas kesumberannya tidak meyakinkan berasal dari Nabi. Oleh karena itu,
sangat tepat difinisi yang diajukan ulama’, bahwa tidak seorang pun di antara
mereka yang berani menjamin kepastian bahwa semua hadis itu berasal dari nabi.
Hal itu juga dapat dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian para ulama dalam menisbahkan sesuatu kepada
Nabi Muhammad SAW.[3]
Bila ditelusuri lebih
lanjut, hadis dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda. Dalam khazanah ilmu hadis ditemukan beberapa
istilah yang dari sisi terminologis memiliki pengertian yang sama, yakni hadis,
khabar, atsar dan sunnah. Setidaknya menurut mayoritas ulama’ hadis, keempat
istilah tersebut dianggap sinonim, sehingga dalam pemakaiannya dapat
dipertukarkan satu sama lain. Sementara sebagian ulama beranggapan bahwa
tiap-tiap istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang berbeda.[4]
“Hadis” merupakan kata serapan dari bahasa
Arab yang aslinya berbunyi hadis atau al-hadis. Al-Fayumiy (w. 770H) telah mengartikan kata
hadis dengan: yang baru, apa-apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan,
dekat atau menjelang, Jamal al-Din Muhammad bin Manzhur yang lebih popular
dengan sebutan Ibnu Manzhur (630-711 H) secara redaksional telah mengartikan
kata hadis jika dilihat dari segi bahasa berarti: sesuatu yang baru, berita
yang datang baik sedikit atau banyak. Pakar ilmu hadis modern Muhammad ‘Ajaj
al-Khathib dalam dua buah bukunya, dengan tegas mengartikan kata hadis dari
segi bahasa dengan الجديد (yang baru) dan القريب (dekat). Hadis
diartikan (جديد) dalam arti bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya
al-Quran yang bersifat (قديم) berarti yang terdahulu.[5]
Sunnah dalam arti
bahasa adalah al-Thariqah al-Maslukah atau al-Sirah, artinya ialah jalan yang
ditempuh atau perjalanan, baik terpuji atau tercela. Sunnah dengan pengertian
seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah.
Betapapun ulama pada umumnya secara substansial menyamakan arti sunnah dengan
hadis (jika dilihat dari segi istilah). Namun, secara esensial antara keduanya
ada perbedaan, walaupun keduanya bersumber dari yang sama yakni Rasulullah.[6]
Dalam jurnal ini,
peneliti memberikan sumbangsih kajian dalam menyelami pemikiran Fazlur Rahman
tentang evolusi sunnah. Evolusi merupakan ilmu yang mempelajari perubahan yang
secara berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai dengan masa dan tempat. [7]
Hadis
yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah pernyataan historis yang
bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian
tertentu dari masa silam. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu pernyataan
singular di sekitar Rasulullah Saw.
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para
pemikir Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah
dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan
representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji sunnah dalam
konteks evolusi historisitas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh
non-muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga
mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem
akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan muslim
yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang
skeptis terhadap sunnah dan hadis. [8]
Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman
adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis atau
sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri
dan para orientalis. Maka dari itu, dalam jurnal ini pembahasan difokuskan
menjadi: 1) Bagaimana respon Fazlur Rahman terhadap validitas sunnah, dan 2)
Bagaimana konsep evolusi sunnah menurut Fazlur Rahman.
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari
negara Pakistan pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir memberi
pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak. Rahman dilahirkan di tengah
keluarga yang berlatar belakang mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih
rasional ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki, dsan
Hambali. Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang menanamkan pendidikan
dasar keagamaan.
Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak
umur belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit dalam
batas-batas tradisi bermazhab untuk selanjutnya mengembangkan pemikirannya.
Sekolah modern dia masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di
Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan BA pada 1940. Gelar
master untuk jurusan ketimuran diraih pada 1942 di universitas yang sama.
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu
rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris. Keputusan ini
tergolong berani, sebab terdapat anggapan bahwa aneh jika seorang Muslim
belajar Islam di Eropa. Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit
diterima kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka
mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup menghalangi Rahman. Pada
1946 dia masuk Oxford University, dan menyandang gelar doktor di bidang sastra
pada 1950.
Selama studi, dia berkesempatan mempelajari
bahasa-bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai bahasa
Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki, di samping Arab, Urdu, dan
Persia. Setamat dari Oxford, Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia
memilih menjadi pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan filsafat
Islam di Durham University, Inggris, pada 1950-1958. Selanjutnya, atas berbagai
pertimbangan, dia pindah ke McGill University di Kanada dan menjadi associate
professor pada bidang Islamic Studies.
Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik
mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di tangan Ayyub Khan yang
modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan
karier akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu
ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode
(1961-1968). Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam,
sebuah lembaga. pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan. Saat-saat itu
memberinya kesempatan untuk meninjau praktik kekuasaan dari dekat. Di masa itu
pula dia memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia
menampungkan gagasa-gagasannya.
Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan
menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago. Tapi
sebenarnya pada 1968 Rahman sudah diterima sebagai dosen di Universitas
California. Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak karya.
Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya hingga wafat pada 26 Juli
1988. Selama 18 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia
kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim pertama penerima medali
Giorgio Levi della Vida yang melambangkan punak prestasi dalam bidang studi
peradaban Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern Studies
Universitas California.[9]
KEGELISAHAN
AKADEMIK FAZLUR RAHMAN TENTANG SUNNAH
Fazlur Rahman
berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara
historis. Pendekatan Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis
ketika ia berada di Barat dan respons terhadap ulama Islam tradisonal dan
fundamental yang menghujatnya sewaktu ia
berada di Pakistan, juga sebagai respons terhadap tokoh Islam modernis.[10]
Bagi Goldziher, hadis
Nabi bukanlah representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas
tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, hadis
adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber
terpercaya bagi awal-awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat
bernilai bagi dogma, konflik, dan perhatian muslim belakangan yang telah
menyebarkan hadis. Skeptisisme Goldziher ini kemudian diadopsi oleh Leone
Caetani dan Henri Lammens, dengan menyatakan dengan menyatakan bahwa hampir
semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah meragukan (apocryphal). [11]
Namun, ia mengakui
adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya sebagai norma norma praktis
yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan. Dengan
demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang hidup. Konsekuensi
logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak
dipercaya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara
tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra
Islam dengan makna tradisi, adat, dan
kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan
datangnya Islam, konsep ini berubah
menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam
berakhir.
Tokoh orientalis yang
lain adalah Joseph Schacht. Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi
umat Islam belakangan. Al-Syafi‘i merupakan ahli hukum Islam pertama yang
secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi
yang identik dengan tradisi Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syafi‘i,
sunnah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi
yang hidup” pada basis yang sama dengan praktik yang disepakati secara umum.
Menurutnya “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya
hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in, kemudian pada
sahabat, dan akhirnya pada Nabi.[12]
Menurut ‘Azami, dibanding dengan pendahulunya, Ignaz
Goldziher, Joseph Schacht memiliki keunggulan. Apabila Ignaz Goldziher hanya
sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis diragukan otentisitasnya
sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada
satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah hukum.[13]
Di sisi lain,
kenyataan bahwa hadis dan sunnah digunakan secara literal dan dianggap sebagai satu patokan harga mati,
menjadi kegelisahan Fazlur Rahman. Karena bagi Rahman, hadis dan sunnah
seharusnya bergerak dinamis sesuai dengan ruang dan waktu . Terlebih bila kita
melihat pada masa awal-awal perkembangannya, sunnah begitu hidup dan
penafsirannya senantiasa berkembang. Namun dalam perkembangan berikutnya,
tepatnya ketika muncul aksi penutupan pintu ijtihad di masa-masa pertengahan,
sunnah dan hadis lantas menjadi mati, beku dan seolah tak memiliki daya gerak.
Sehingga Rahman berpendapat, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah
ditutup, namun taqlid atau menerima otoritas secara mentah-mentah
berkembang sedemikian suburnya hingga secara praktis, ijtihad menjadi
tidak ada [14]
Kemandegan ijtihad
ditengarai Rahman sebagai penyebab kemandegan intelektual yang terjadi pada
para sarjana muslim. Hal ini memang setidaknya bisa dilihat dari masa
kemunduran fiqih Islam yang berlangsung pada abad ke empat bahkan jauh
sebelumnya pada abad kedua. Pada abad-abad tersebut memang masa munculnya
madzhab-madzhab. Imam Syafi’I, disebut-sebut sebagai salah satu actor
intelektual yang berada dibalik agenda ditutupnya pintu ijtihad melalui program
qiyas maupun ijma’nya.[15]
Menurut Rahman, pada
masa sahabat periode I, umat Islam menggunakan dua sumber yakni al-Quran dan
sunnah dengan sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I dan awal
periode II pemikiran keagamaan Islam menjadi formal, kaku, dan normative. Hadis
oleh para ulama dipegang sebagai sesuatu yang given dan harga mati, dengan
menafikan suasana historis dan gerak dinamis yang ada pada suatu hadis,
terutama berkaitan dengan hadis-hadis muamalah. Padahal sebenarnya
menurut Rahman, hadis itu muncul belakangan setelah adanya gerakan pencarian
hadis. Sebelumnya hadis-hadis tersebut masih berupa sunnah yang hidup dengan
tradisi oral, yang di kemudian hari sunnah itu menjadi sebuah konsensus (ijma’)
yang dinamis dan hidup.[16]
Di tengah kegelisahannya,
kemudian Rahman menjelaskanbeberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap
hadis. MenurutRahman, mereka menemukan:
1)
Bahwa sebagian besar kandungansunnah
merupakan tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadatpra Islam;
2)
Bahwa sebagian besar kandungan sunnah
merupakanhasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam awal yang,dengan
ijtihad, telah membuat beberapa deduksi dari sunnah dan menambahkan
elemen-elemen baru, terutama dari sumber-sumberYahudi dan praktik pemerintahan
Bizantium serta Persia
3)
Ketika hadis berkembang menjadi gerakan
yang besar dan menjadifenomena massif pada akhir abad kedua, khususnya abad ketiga H,seluruh
kandungan sunnnah yang awal dihubungkan secara verbalkepada Nabi di bawah
lindungan konsep sunnah.[17]
KONSEP
SUNNAH MENURUT FAZLUR RAHMAN
Pemikiran
para orientalis tentang teori evolusi direspons oleh Rahman. Dalam kajiannya,
Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang evolusi sunnah
dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan
teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya,
konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam pandangan orientalis dinilai tidak valid.
Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal Islam dan
berlaku sepanjang masa.
Rahman
mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct). Pengertian
semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil
oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara jelas
mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan pemikiran tentang
sunnah yang dimunculkan para orientalis.
Untuk
memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan. Menurutnya,
periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu,
Rahman mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada ‘Abd
al-Malik bin Marwan, Rahman juga
mengutip kebiasaan Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip
terlebih dahulu riwayat hadis dalam menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian
menyampaikan pernyataan seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,”
“sunnah bagi kita adalah...,” kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah yang
kita akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa
Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada seseorang jika partnernya hendak
menjual bagiannya, lalu Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi
kita.”
Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan
data historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi
yang hidup antara akhir abad pertama sampai awal abad
kedua H. Di dalam syair terdapat “sunah” yang menurutnya tidak dapat
diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Rahman juga menyajikan data historis lain
dengan merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa
‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang ke daerah tertentu untuk
mengajarkan al-Qur’an dan sunnah. Dalam informasi ini Rahman menjelaskan,
kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat diajarkan
tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah. Aktivitas Rasul mencakup bidang
politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. [18]
Dengan
demikian, al- Qur’an dan sunnah terdapat pertalian yang utuh. Data-data
historis yang diungkap oleh Rahman tentang validitas sunnah sebagai jawaban terhadap tantangan orientalis.
Analisis historis sebagai respons terhadap wacana ilmiah yang berkembang
merupakan kepedulian sumbangan besar Rahman dalam diskursus kontemporer.
Baik
sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan
kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk
sunnah yang hidup (living sunnah_ sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal
melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat
saat ini. Hal ini penting dilakukan mengingat aneka ragam unsure dalam hadis
dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan selaras dengan
perubahan-perubahan kondisi social moral saat ini. Penafsiran situasional dan
historis dalam bentuk sunnah yang hidup akan membuat kaum muslim dapat
menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk kepentingan kebutuhan zamannya. [19]
EVOLUSI
SUNNAH FAZLUR RAHMAN
Ulama
muhaddisin sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya berpandangan bahwa
hadis dan sunnah merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering
digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang nabi. Akan tetapi
kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa hadis dan sunnah
merupakan dua hal yang berbeda.
Hal
tersebut dapat dilihat dari penjelasan tiga tokoh berikut, yakni Sufyan al
Sawriy (w. 161 H), al-Auza’y (w. 157 H), dan Malik bin Annas (w. 179 H).
Seorang kritikus terkenal ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (w. 198 H) mengatakan: Sufyan
al-Sawriy adalah pakar dalam hadis tetapi bukan pakar dalam sunnah dan
al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadis, sedang
Malik adalah pakar dalam keduanya. [20]
Berbeda
dengan kalangan ahli hadis (tradisionist), yang mengidentikkan
pengertian antara sunnah dengan hadis, Fazlur Rahman melalui pendekatan sejarah
membedakan pengertian keduanya secara jelas. Dengan meneliti data-data sejarah,
Rahman mengemukakan teorinya tentang asal usul perkembangan sunnah secara
sistematis.
Dalam
penelitian yang ia lakukan, Rahman
sampai berkesimpulan bahwa sunnah dalam konsepsi awalnya mengandung tiga
kategori, pertama ialah sunnah ideal yaitu sunnah (tradisi praktikal) dan hadis (tradisi verbal) yang ada secara
bersama dan memiliki substansi yang sama. Keduanya dinisbatkan dan diarahkan
kepada Nabi dan memperoleh normatifitas dari beliau.
Kedua,
adalah living tradition (tradisi yang hidup), yakni bermula dari sunnah
ideal yang telah mengalami penafsiran-penafsiran sehingga menjadi praktek
actual masyarakat muslim. Sebagai praktek actual dari masyarakat yang hidup,
maka living tradition tersebut secara terus menerus menjadi subyek
modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan. Modifikasi dan perubahan-perubahan ini
sebagai implikasi dari perkembangan masyarakat yang bertambah luas dengan cepat
sehingga menimbulkan persoalan-persoalan dan situasi-situasi controversial yang
pada gilirannya mendorong munculnya problematika-problematika hokum, moral, dan
teologis yang komplek.
Ketiga,
adalah kesimpulan yang ditarik dari keduanya. Artinya, dari sebuah hadis atau
laporan sunnah beberapa pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran.
Norma-norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara implicit
terlihat dalam sunnah tersebut.
Jadi
dalam pandangannya, konsep sunnah memuat di dalamnya tradisi yang hidup di
tengah-tengah masyarakat muslim (living
tradition). Tradisi tersebut bersumber dari sunnah Nabi (sunnah ideal yang
diinterpretasi secara kreatif oleh ra’yu dan qiyas (ijtihad).
Pada waktu itu berkembang secara pesat ijtihad personal, yakni aktifitas
pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang
juga disebut ra’yu atau personal considered opinion (menurut istilah
Rahman) ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang hokum religious
dan moral pada kira-kira abad pertama
dan awal abad kedua hijriyah. Instrumen inilah yang digunakan oleh
generasi-generasi muslim di masa lampau sehingga teladan Nabi dapat kian
berkembang menjadi sebuah peraturan tegas dan khusus terhadap tingkah laku
manusia.[21]
Rahman
juga mengungkapkan bahwa dalam perkembangan Islam yang cukup panjang, hadis
merupakan verbalisasi dari konsep sunnah. Sunnah merupakan sebuah bentuk
perilaku yang bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus
yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis,
dan material. Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan, diinterpretasikan,
dan diadaptasikan. Dalam hal ini, sunnah dengan sendirinya secara terus menerus
mengalami evolusi dari generasi ke generasi. Dengan begitu sunnah harus
dipandang sebagai sebuah teladan, bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak.
Ia
juga mengemukakan, hadis dalam perkembangannya mengalami tiga fase, yaitu: fase
informal, semiformal, dan formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa
Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari para sahabat. Proses periwayatan (transmisi
verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis.
Karena salah satu peranan hadis yang
memberikan bimbingan dalam praktek actual masyarakat waktu itu sudah terpenuhi
oleh Nabi.
Fase
semiformal terjadi seteah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat dan tabi’in
senior. Pada fase ini, penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni
sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim, penyebaran
hadis menjadi sebuah kesengajaan. Pada masa ini, penafsiran bebas terhadap
hadis Nabi oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan dan kondisi yang mereka
hadapi pun menjadi sebuah keniscayaan, sehingga muncullah apa yang disebut
sebagai “living sunnah”. Dampak dari perkembangan hadis secara
semiformal adalah munculnya perbedaan praktek yang actual (living sunnah) di
berbagai daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling bertentangan.
Fase
yang ketiga adalah fase formal. Fase ini menurut adanya keseragaman dan
standarisasi di seluruh dunia Islam. Fase ini menyebabkan sunnah yang hidup
yang bersifat dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus terhadapnya
menjadi corpus tertutup, baku-baku dan stagnan serta dianggap sebagai keputusan
dan ketentuan yang bersifat final demi sebuah alas an untuk keseragaman dan
penyatuan umat. Gerakan ini, dipelopori oleh al-Syafi’I yang mempunyai tujuan
menjaga stabilitas hokum dan menumbangkan hadis-hadis palsu yang pada waktu itu
merajalela. Namun saying, pada fase inilah sunnah yang semula bersifat dinamis
menjadi baku-baku. [22]
Menurut Rahman, umat Islam saat ini memerlukan
upaya metodologis demi mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk
sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Dalam
bukunya Membuka Pintu Ijtihad, buku ini ditulis sekurang-kurangnya untuk
memperlihatkan: pertama, evolusi
historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam
–al-Quran, sunnah, ijtihad, dan Ijma’.
Kedua, peran actual
prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri, Rahman
setidaknya menemukan beberapa penemuan, 1) dalam perjalanan sejarah telah
terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan
akhirnya menjadi hadis. 2) sunah nabi merupakan sunnah yang ideal, dan sunnah
yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan
tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya penuturan
sunnah dalam suatu catatan. 3) sunnah merupakan sebuah fenomena praktisyang
ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan hadis tidak hanya
menyampaikan norma-norma hokum tetapi juga keyakinan dan prinsip religious.[23]
Bereda
dengan Jalaluddin Rahmat, ia mengatakan bahwa yang beredar pertama kali di
kalangan kaum muslim adalah hadis, bukan sunnah sebagaimana yang diungkapkan
oleh Fazlurrahman. Asumsi ini didasari oleh data hisoris bahwa sahabat yang
menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadis sudah ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua
model pemikiran di atas, sebenarnya dapat dikompromikan. Karena pada
kenyataannya tradisi hadis dan sunnah terjadi secara bersamaan. Hadis yang
disebut Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Nabi. Dalam
sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Nabi pernah memerintahkan
salah satu sahabat untuk menuliskan khubah yang baru saja disampaikannya, atas
permohonan dari Abu Syah. Demikian juga sunnah tetap dilestarikan dan dijaga
oleh generasi-generasi sesudah Nabi wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah
Nabi, termasuk sunnah yang hidup ke dalam bentuk hadis mmenjadi suatu kebutuhan
yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur
ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika
tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. [24]
POSISI FAZLUR RAHMAN
DALAM PEMIKIRAN HADIS DAN SUNNAH
Gagasan
Rahman tentang sunnah dan hadis tidaklah bisa dipisahkan dari beberapa
pemikiran dan hasil penelitian pendahulunya baik yang muslim atau non muslim,
karena berdasarkan penelusuran, tampak bahwa pemikiran Rahman ini merupakan
hasil elaborasinya terhadap konsep sunnah dan hadis dari kalangan ulama klasik,
fundamentalis-tradisionalis, modernis dan orientalis.
Konsep
Rahman tentang sunnah dengan mengupayakan konsep pemahaman terhadap sunnah
sebagaimana yang dilakukan kaum muslim awal sebenarnya telah dimunculkan oleh
Imam al-Syatibi (w. 790 H) pada abad ke 8 H.
Dari
sini dapat dikemukakan bahwa teori Rahman tentang sunnah dan hadis ternyata
senada dengan teori al-Syatibi ini,
karena jika dikaji terdapat beberapa kesamaan prinsipil antara keduanya.
Sunnah dalam pengertian apa-apa yang dating dari Nabi adalah sunnah ideal dalam
terminology Rahman, sedang amal shahabah baik yang ditemukan dalam al-Quran
maupun sunnah atau hanya sekedar hasil ijtihad yang mencapai kualitas ijma’
(ijtihad yang disepakati) oleh sahabat atau generasi berikutnya disebut Rahman
sebagai “living sunnah”.
Disamping
itu, sebagaimana dijelaskan dalam kegelisahan akademik Rahman tentang sunnah
dan hadis sebenarnya merupakan respon imtelektual terhadap hasil penelitian
orientalis orientalis Barat semisal Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Margoliouth dan Snock Horgonje mengenai sunnah dan hadis yang kesemuanya
mengumandangkan suara dengan nada dasar sama yaitu skeptisme terhadap konsep
sunnah dan hadis.
Terhadap
konsep sunnah dan hadis klasik, Rahman jelas-jelas menentang. Sejak awal Rahman
memang berbanding terbalik dengan muhaddisin yang mengidentikkan sunnah dengan
hadis. Sebenarnya memang tidak lah tepat, jika sunnah diidentikkan dengan
hadis, meskipun secara substansial memang identik. Meletakkan konsep sunnah
semaqam dengan hadis akan banyak menimbulkan kerancuan. Jadi dengan demikian
identifikasi sunnah pada hadis adalah benar secara substansial tetapi salah
secara konseptual.
Dalam
dataran ini, Rahman sebagaimana pemikir modern lainnya tidak menghendaki hadis
sebagai satu-satunya wahana transmisi bagi sunnah Nabi. Rahman juga tidak
menghendaki hadis-hadis teknis yang ada sekarang ini, sebagaimana termuat dalam
dalam kitab-kitab hadis, difahami secara harfiyah dan literal.
Metode
kritik terhadap hadis yang digunakan ulama-ulama klasik klasik untuk
menentukannkeshahihan dan historisitas hadis dianggapnya tidak valid. Pemikiran
Rahman ini cukup beralasan, mengingat perkembangan hadis di masa lampau, lewat
pendekatan sejarah (historitical approach) sebagaimana dikemukakan
Goldziher, berjalan parael dengan doktrin-doktrin madzhab fiqih dan teologis
yang kadang-kadang sering bertabrakan, sehingga hadis-hadis yang baru
berkembang setelah abad ke 2 H terdapat kemungkinan diformulasikan sedemikian
rupa berdasarkan vested interst tertentu setelah melewati tarik-menarik
kepentingan politis, teologis dan madzhab yang kompleks.
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis
merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang sunnah dan hadis baik dari
kalangan tradisionalis, modernis dan Barat. Menurut Musahadi HAM, Rahman cukup
memiliki perangkat ilmiah kualified untuk mengelaborasi ketiga tradisi
pemikiran tersebut.
PENUTUP
Rahman
mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct).Baik
sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan
kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk
sunnah yang hidup (living sunnah) sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal
melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat
saat ini.
Rahman berpandangan bahwa hadis dan
sunnah secara realistis berevolusi secara historis dan merupakan konsep yang
valid, tidak sebagaimana dituduhkan para orientalis bahwa sunnah adalah buatan
ulama muslim abad kedua dan ketiga hijri. Hadis merupakan evolutif dari sunnah,
yang dimulai dengan adanya kebutuhan yang sangat
mendesak dan mendasar di kalangan umat muslim. Karena dalam jangka panjang
struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak
berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. Dan dalam posisis pemikirannyatentang
sunnah dan hadis, merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang baik
dari kalangan tradisionalis, modernis dan Barat
[1] Badri Khaeruman, Otentisitas
Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004), hal. 27.
[2] Ummi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 8
[3] Ummi Sumbulah, hal. 9
[4] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
2011), hal. 59
[5] H.M. Dailamy, Hadis
Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN Purwokerto Press: Yogyakarta,
2010), hal. 1-2
[6] H.M. Dailamy, hal. 7
[7] Maridi, Perkembangan
Teori Evolusi dalam http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-FKIP-UNS.pdf&ei=VGR_Vc_lKcH8mAXQt4CQBg&usg=AFQjCNFizKIRtPBw5LQL9cXRYvwwUPx56w&sig2=STPHgMai8-0eASdRR8whvA&bvm=bv.95515949,d.dGY
[8] Sahid HM, Sejarah
Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 176
[9]Bawaihi,
Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran, jurnal Media
Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
[10] Sahid HM, Sejarah
Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 179
[11] Kamarudin Amin dalam
Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hal: 170
[12] M.M. Azami, Menguji
Keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 45
[13] M.M. Azami, dalam
kata pengantar
[14] Saifuddin Zuhri Qudsy
dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hal. 76
[15] Saifuddin, hal. 79
[16] Saifuddin, hal. 82
[17] Sahid HM, Sejarah
Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 181
[18] Sahid HM, Sejarah
Evolusi Sunnah, hal. 183-184
[19] Fazlur Rahman dalam
Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[20] Musahadi HAM, Hermeneutika
Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman-, (Semarang: Wali
Songo Press, 2009), hal. 32
[21] Musahadi HAM, hal. 94-95
[22] Fazlur Rahman dalam
Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[23] Saifuddin Zuhri Qudsy
dan Ali Imron, hal. 86-87
[24] Rahmat dalam
Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 25
Bonuses And Sign-Up Bonuses At The Online Casino Site
ReplyDeleteA huge selection of 메리트카지노 welcome bonuses are available for 카지노사이트 new players at the online casino site. Bonuses can be worth up to €250 메리트카지노 and welcome