Friday 19 August 2016

Hadits Kontemporer

EVOLUSI SUNNAH
PERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
(Antara Tradisionalis dan Orientalis)


PENDAHULUAN
Hadis merupakan warisan berharga bagi umat Islam, karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran  dan interpretasi dari  kehidupan Nabi saw,  sabda, perilaku dan sikap Nabi saw, dan terkadang menjadi hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah  untuk memberikan petunjuk kehidupan  yang benar kepada umatnya.[1]
Karena demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari kalangan yang berupaya untuk meneliti hadis kembali dengan berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum orientalis dan juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis. Berbagai perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadis menghasilkan temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri. Dan, jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah dimulai dari pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’, maupun orientalis. 
Dari sejumlah definisi hadis dan sunnah, terutama perspektif muhadditsun dan ushuliyun, tidak seorang ulama pun yang mengajukan definisi hadis dan sunnah sebagai segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, tetapi selalu mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi. Dalam konteks ini, para ulama selalu memberikan kata “yang disandarkan” (ma udzifa/ ma usnida), “yang dinukil” (ma nuqila), “yang diriwayatkan “ (ma ruwiya), “yang bersumber” (ma shudira), dan sebagainya. Tentunya hal ini berbeda dengan ketika mereka mendefinisikan al-Quran yang semuanya sepakat bahwa al-Quran adalah kalamullah, bukan kalam yang disandarkan kepada Allah. [2]
Hadis yang mayoritas diriwayatkan tidak secara mutawattir, menjadikan posisi dan otoritas kesumberannya tidak meyakinkan berasal dari Nabi. Oleh karena itu, sangat tepat difinisi yang diajukan ulama’, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang berani menjamin kepastian bahwa semua hadis itu berasal dari nabi. Hal itu juga dapat dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian  para ulama dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW.[3]
Bila ditelusuri lebih lanjut, hadis dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda. Dalam  khazanah ilmu hadis ditemukan beberapa istilah yang dari sisi terminologis memiliki pengertian yang sama, yakni hadis, khabar, atsar dan sunnah. Setidaknya menurut mayoritas ulama’ hadis, keempat istilah tersebut dianggap sinonim, sehingga dalam pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara sebagian ulama beranggapan bahwa tiap-tiap istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang berbeda.[4]
 “Hadis” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang aslinya berbunyi hadis atau al-hadis.  Al-Fayumiy (w. 770H) telah mengartikan kata hadis dengan: yang baru, apa-apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan, dekat atau menjelang, Jamal al-Din Muhammad bin Manzhur yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Manzhur (630-711 H) secara redaksional telah mengartikan kata hadis jika dilihat dari segi bahasa berarti: sesuatu yang baru, berita yang datang baik sedikit atau banyak. Pakar ilmu hadis modern Muhammad ‘Ajaj al-Khathib dalam dua buah bukunya, dengan tegas mengartikan kata hadis dari segi bahasa dengan الجديد (yang baru) dan القريب (dekat). Hadis diartikan (جديد) dalam arti bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya al-Quran yang bersifat (قديم) berarti yang terdahulu.[5]
Sunnah dalam arti bahasa adalah al-Thariqah al-Maslukah atau al-Sirah, artinya ialah jalan yang ditempuh atau perjalanan, baik terpuji atau tercela. Sunnah dengan pengertian seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah. Betapapun ulama pada umumnya secara substansial menyamakan arti sunnah dengan hadis (jika dilihat dari segi istilah). Namun, secara esensial antara keduanya ada perbedaan, walaupun keduanya bersumber dari yang sama yakni Rasulullah.[6]
Dalam jurnal ini, peneliti memberikan sumbangsih kajian dalam menyelami pemikiran Fazlur Rahman tentang evolusi sunnah. Evolusi merupakan ilmu yang mempelajari perubahan yang secara berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai dengan masa dan tempat. [7]
Hadis yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu pernyataan singular di sekitar Rasulullah Saw.
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji sunnah dalam konteks evolusi historisitas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan muslim yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang skeptis terhadap sunnah dan hadis. [8]
Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri dan para orientalis. Maka dari itu, dalam jurnal ini pembahasan difokuskan menjadi: 1) Bagaimana respon Fazlur Rahman terhadap validitas sunnah, dan 2) Bagaimana konsep evolusi sunnah menurut Fazlur Rahman.
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari negara Pakistan pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak. Rahman dilahirkan di tengah keluarga yang berlatar belakang mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih rasional ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki, dsan Hambali. Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang menanamkan pendidikan dasar keagamaan.
Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab untuk selanjutnya mengembangkan pemikirannya. Sekolah modern dia masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan BA pada 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran diraih pada 1942 di universitas yang sama.
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris. Keputusan ini tergolong berani, sebab terdapat anggapan bahwa aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit diterima kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup menghalangi Rahman. Pada 1946 dia masuk Oxford University, dan menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950.
Selama studi, dia berkesempatan mempelajari bahasa-bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki, di samping Arab, Urdu, dan Persia. Setamat dari Oxford, Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia memilih menjadi pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada 1950-1958. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, dia pindah ke McGill University di Kanada dan menjadi associate professor pada bidang Islamic Studies.
Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di tangan Ayyub Khan yang modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan karier akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968). Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam, sebuah lembaga. pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan. Saat-saat itu memberinya kesempatan untuk meninjau praktik kekuasaan dari dekat. Di masa itu pula dia memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasa-gagasannya. 
Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago. Tapi sebenarnya pada 1968 Rahman sudah diterima sebagai dosen di Universitas California. Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak karya. Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya hingga wafat pada 26 Juli 1988. Selama 18 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida yang melambangkan punak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern Studies Universitas California.[9]

KEGELISAHAN AKADEMIK FAZLUR RAHMAN TENTANG SUNNAH
Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis ketika ia berada di Barat dan respons terhadap ulama Islam tradisonal dan fundamental yang menghujatnya sewaktu  ia berada di Pakistan, juga sebagai respons terhadap tokoh Islam  modernis.[10]
Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat bernilai bagi dogma, konflik, dan perhatian muslim belakangan yang telah menyebarkan hadis. Skeptisisme Goldziher ini kemudian diadopsi oleh Leone Caetani dan Henri Lammens, dengan menyatakan dengan menyatakan bahwa hampir semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah meragukan (apocryphal). [11]
Namun, ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya sebagai norma norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan. Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang hidup. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam  dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah  menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam berakhir.
Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht. Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-Syafi‘i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syafi‘i, sunnah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktik yang disepakati secara umum. Menurutnya “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in, kemudian pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.[12]
Menurut ‘Azami,  dibanding dengan pendahulunya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht memiliki keunggulan. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.[13]
Di sisi lain, kenyataan bahwa hadis dan sunnah digunakan secara literal  dan dianggap sebagai satu patokan harga mati, menjadi kegelisahan Fazlur Rahman. Karena bagi Rahman, hadis dan sunnah seharusnya bergerak dinamis sesuai dengan ruang dan waktu . Terlebih bila kita melihat pada masa awal-awal perkembangannya, sunnah begitu hidup dan penafsirannya senantiasa berkembang. Namun dalam perkembangan berikutnya, tepatnya ketika muncul aksi penutupan pintu ijtihad di masa-masa pertengahan, sunnah dan hadis lantas menjadi mati, beku dan seolah tak memiliki daya gerak. Sehingga Rahman berpendapat, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun taqlid atau menerima otoritas secara mentah-mentah berkembang sedemikian suburnya hingga secara praktis, ijtihad menjadi tidak ada [14]
Kemandegan ijtihad ditengarai Rahman sebagai penyebab kemandegan intelektual yang terjadi pada para sarjana muslim. Hal ini memang setidaknya bisa dilihat dari masa kemunduran fiqih Islam yang berlangsung pada abad ke empat bahkan jauh sebelumnya pada abad kedua. Pada abad-abad tersebut memang masa munculnya madzhab-madzhab. Imam Syafi’I, disebut-sebut sebagai salah satu actor intelektual yang berada dibalik agenda ditutupnya pintu ijtihad melalui program qiyas maupun ijma’nya.[15]
Menurut Rahman, pada masa sahabat periode I, umat Islam menggunakan dua sumber yakni al-Quran dan sunnah dengan sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan Islam menjadi formal, kaku, dan normative. Hadis oleh para ulama dipegang sebagai sesuatu yang given dan harga mati, dengan menafikan suasana historis dan gerak dinamis yang ada pada suatu hadis, terutama berkaitan dengan hadis-hadis muamalah. Padahal sebenarnya menurut Rahman, hadis itu muncul belakangan setelah adanya gerakan pencarian hadis. Sebelumnya hadis-hadis tersebut masih berupa sunnah yang hidup dengan tradisi oral, yang di kemudian hari sunnah itu menjadi sebuah konsensus (ijma’) yang dinamis dan hidup.[16]
Di tengah kegelisahannya, kemudian Rahman menjelaskanbeberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap hadis. MenurutRahman, mereka menemukan:
1)                      Bahwa sebagian besar kandungansunnah merupakan tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadatpra Islam;
2)                      Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakanhasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam awal yang,dengan ijtihad, telah membuat beberapa deduksi dari sunnah dan menambahkan elemen-elemen baru, terutama dari sumber-sumberYahudi dan praktik pemerintahan Bizantium serta Persia
3)                      Ketika hadis berkembang menjadi gerakan yang besar dan menjadifenomena massif pada akhir abad  kedua, khususnya abad ketiga H,seluruh kandungan sunnnah yang awal dihubungkan secara verbalkepada Nabi di bawah lindungan konsep sunnah.[17]


KONSEP SUNNAH MENURUT FAZLUR RAHMAN
Pemikiran para orientalis tentang teori evolusi direspons oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan  teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan  kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya, konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam  pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa.
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para orientalis. 
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada ‘Abd al-Malik bin Marwan,  Rahman juga mengutip kebiasaan Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih dahulu riwayat hadis dalam menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,” kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah yang kita akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.”
 Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara akhir abad pertama sampai awal abad kedua H. Di dalam syair terdapat “sunah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah. Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah. Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. [18]
Dengan demikian, al- Qur’an dan sunnah terdapat pertalian yang utuh. Data-data historis yang diungkap oleh Rahman tentang validitas sunnah sebagai  jawaban terhadap tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian sumbangan besar Rahman dalam diskursus kontemporer.
Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah_ sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini. Hal ini penting dilakukan mengingat aneka ragam unsure dalam hadis dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan selaras dengan perubahan-perubahan kondisi social moral saat ini. Penafsiran situasional dan historis dalam bentuk sunnah yang hidup akan membuat kaum muslim dapat menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk kepentingan kebutuhan zamannya. [19]

EVOLUSI SUNNAH FAZLUR RAHMAN
Ulama muhaddisin sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya berpandangan bahwa hadis dan sunnah merupakan dua hal yang identik.  Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang nabi. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa hadis dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda.
Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan tiga tokoh berikut, yakni Sufyan al Sawriy (w. 161 H), al-Auza’y (w. 157 H), dan Malik bin Annas (w. 179 H). Seorang kritikus terkenal ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (w. 198 H) mengatakan: Sufyan al-Sawriy adalah pakar dalam hadis tetapi bukan pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadis, sedang Malik adalah pakar dalam keduanya. [20]
Berbeda dengan kalangan ahli hadis (tradisionist), yang mengidentikkan pengertian antara sunnah dengan hadis, Fazlur Rahman melalui pendekatan sejarah membedakan pengertian keduanya secara jelas. Dengan meneliti data-data sejarah, Rahman mengemukakan teorinya tentang asal usul perkembangan sunnah secara sistematis.
Dalam penelitian yang  ia lakukan, Rahman sampai berkesimpulan bahwa sunnah dalam konsepsi awalnya mengandung tiga kategori, pertama ialah sunnah ideal yaitu sunnah (tradisi praktikal)  dan hadis (tradisi verbal) yang ada secara bersama dan memiliki substansi yang sama. Keduanya dinisbatkan dan diarahkan kepada Nabi dan memperoleh normatifitas dari beliau.
Kedua, adalah living tradition (tradisi yang hidup), yakni bermula dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiran-penafsiran sehingga menjadi praktek actual masyarakat muslim. Sebagai praktek actual dari masyarakat yang hidup, maka living tradition tersebut secara terus menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan.  Modifikasi dan perubahan-perubahan ini sebagai implikasi dari perkembangan masyarakat yang bertambah luas dengan cepat sehingga menimbulkan persoalan-persoalan dan situasi-situasi controversial yang pada gilirannya mendorong munculnya problematika-problematika hokum, moral, dan teologis yang komplek.
Ketiga, adalah kesimpulan yang ditarik dari keduanya. Artinya, dari sebuah hadis atau laporan sunnah beberapa pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran. Norma-norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara implicit terlihat dalam sunnah tersebut.
Jadi dalam pandangannya, konsep sunnah memuat di dalamnya tradisi yang hidup di tengah-tengah  masyarakat muslim (living tradition). Tradisi tersebut bersumber dari sunnah Nabi (sunnah ideal yang diinterpretasi secara kreatif oleh ra’yu dan qiyas (ijtihad). Pada waktu itu berkembang secara pesat ijtihad personal, yakni aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang juga disebut ra’yu atau personal considered opinion (menurut istilah Rahman) ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang hokum religious dan  moral pada kira-kira abad pertama dan awal abad kedua hijriyah. Instrumen inilah yang digunakan oleh generasi-generasi muslim di masa lampau sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang menjadi sebuah peraturan tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia.[21]
Rahman juga mengungkapkan bahwa dalam perkembangan Islam yang cukup panjang, hadis merupakan verbalisasi dari konsep sunnah. Sunnah merupakan sebuah bentuk perilaku yang bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis, dan material. Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan, diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini, sunnah dengan sendirinya secara terus menerus mengalami evolusi dari generasi ke generasi. Dengan begitu sunnah harus dipandang sebagai sebuah teladan, bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak.
Ia juga mengemukakan, hadis dalam perkembangannya mengalami tiga fase, yaitu: fase informal, semiformal, dan formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para sahabat. Proses periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis. Karena salah satu peranan  hadis yang memberikan bimbingan dalam praktek actual masyarakat waktu itu sudah terpenuhi oleh Nabi.
Fase semiformal terjadi seteah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada fase ini, penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim, penyebaran hadis menjadi sebuah kesengajaan. Pada masa ini, penafsiran bebas terhadap hadis Nabi oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan dan kondisi yang mereka hadapi pun menjadi sebuah keniscayaan, sehingga muncullah apa yang disebut sebagai “living sunnah”. Dampak dari perkembangan hadis secara semiformal adalah munculnya perbedaan praktek yang actual (living sunnah) di berbagai daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling bertentangan.
Fase yang ketiga adalah fase formal. Fase ini menurut adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh dunia Islam. Fase ini menyebabkan sunnah yang hidup yang bersifat dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus terhadapnya menjadi corpus tertutup, baku-baku dan stagnan serta dianggap sebagai keputusan dan ketentuan yang bersifat final demi sebuah alas an untuk keseragaman dan penyatuan umat. Gerakan ini, dipelopori oleh al-Syafi’I yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas hokum dan menumbangkan hadis-hadis palsu yang pada waktu itu merajalela. Namun saying, pada fase inilah sunnah yang semula bersifat dinamis menjadi baku-baku. [22]
 Menurut Rahman, umat Islam saat ini memerlukan upaya metodologis demi mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Dalam bukunya Membuka Pintu Ijtihad, buku ini ditulis sekurang-kurangnya untuk memperlihatkan: pertama,  evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam –al-Quran, sunnah, ijtihad, dan Ijma’.  Kedua,  peran actual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri, Rahman setidaknya menemukan beberapa penemuan, 1) dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadis. 2) sunah nabi merupakan sunnah yang ideal, dan sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. 3) sunnah merupakan sebuah fenomena praktisyang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan hadis tidak hanya menyampaikan norma-norma hokum tetapi juga keyakinan dan prinsip religious.[23]
Bereda dengan Jalaluddin Rahmat, ia mengatakan bahwa yang beredar pertama kali di kalangan kaum muslim adalah hadis, bukan sunnah sebagaimana yang diungkapkan oleh Fazlurrahman. Asumsi ini didasari oleh data hisoris bahwa sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadis sudah ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua model pemikiran di atas, sebenarnya dapat dikompromikan. Karena pada kenyataannya tradisi hadis dan sunnah terjadi secara bersamaan. Hadis yang disebut Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Nabi. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah satu sahabat untuk menuliskan khubah yang baru saja disampaikannya, atas permohonan dari Abu Syah. Demikian juga sunnah tetap dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk sunnah yang hidup ke dalam bentuk hadis mmenjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. [24]

POSISI FAZLUR RAHMAN DALAM PEMIKIRAN HADIS DAN SUNNAH
Gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis tidaklah bisa dipisahkan dari beberapa pemikiran dan hasil penelitian pendahulunya baik yang muslim atau non muslim, karena berdasarkan penelusuran, tampak bahwa pemikiran Rahman ini merupakan hasil elaborasinya terhadap konsep sunnah dan hadis dari kalangan ulama klasik, fundamentalis-tradisionalis, modernis dan orientalis.
Konsep Rahman tentang sunnah dengan mengupayakan konsep pemahaman terhadap sunnah sebagaimana yang dilakukan kaum muslim awal sebenarnya telah dimunculkan oleh Imam al-Syatibi (w. 790 H) pada abad ke 8 H.
Dari sini dapat dikemukakan bahwa teori Rahman tentang sunnah dan hadis ternyata senada dengan teori al-Syatibi ini,  karena jika dikaji terdapat beberapa kesamaan prinsipil antara keduanya. Sunnah dalam pengertian apa-apa yang dating dari Nabi adalah sunnah ideal dalam terminology Rahman, sedang amal shahabah baik yang ditemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau hanya sekedar hasil ijtihad yang mencapai kualitas ijma’ (ijtihad yang disepakati) oleh sahabat atau generasi berikutnya disebut Rahman sebagai “living sunnah”.
Disamping itu, sebagaimana dijelaskan dalam kegelisahan akademik Rahman tentang sunnah dan hadis sebenarnya merupakan respon imtelektual terhadap hasil penelitian orientalis orientalis Barat semisal Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Margoliouth dan Snock Horgonje mengenai sunnah dan hadis yang kesemuanya mengumandangkan suara dengan nada dasar sama yaitu skeptisme terhadap konsep sunnah dan hadis.
Terhadap konsep sunnah dan hadis klasik, Rahman jelas-jelas menentang. Sejak awal Rahman memang berbanding terbalik dengan muhaddisin yang mengidentikkan sunnah dengan hadis. Sebenarnya memang tidak lah tepat, jika sunnah diidentikkan dengan hadis, meskipun secara substansial memang identik. Meletakkan konsep sunnah semaqam dengan hadis akan banyak menimbulkan kerancuan. Jadi dengan demikian identifikasi sunnah pada hadis adalah benar secara substansial tetapi salah secara konseptual.
Dalam dataran ini, Rahman sebagaimana pemikir modern lainnya tidak menghendaki hadis sebagai satu-satunya wahana transmisi bagi sunnah Nabi. Rahman juga tidak menghendaki hadis-hadis teknis yang ada sekarang ini, sebagaimana termuat dalam dalam kitab-kitab hadis, difahami secara harfiyah dan literal.
Metode kritik terhadap hadis yang digunakan ulama-ulama klasik klasik untuk menentukannkeshahihan dan historisitas hadis dianggapnya tidak valid. Pemikiran Rahman ini cukup beralasan, mengingat perkembangan hadis di masa lampau, lewat pendekatan sejarah (historitical approach) sebagaimana dikemukakan Goldziher, berjalan parael dengan doktrin-doktrin madzhab fiqih dan teologis yang kadang-kadang sering bertabrakan, sehingga hadis-hadis yang baru berkembang setelah abad ke 2 H terdapat kemungkinan diformulasikan sedemikian rupa berdasarkan vested interst tertentu setelah melewati tarik-menarik kepentingan politis, teologis dan madzhab yang kompleks.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang sunnah dan hadis baik dari kalangan tradisionalis, modernis dan Barat. Menurut Musahadi HAM, Rahman cukup memiliki perangkat ilmiah kualified untuk mengelaborasi ketiga tradisi pemikiran tersebut.



PENUTUP
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct).Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) sebagaimana yang dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini.
Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara historis dan merupakan konsep yang valid, tidak sebagaimana dituduhkan para orientalis bahwa sunnah adalah buatan ulama muslim abad kedua dan ketiga hijri. Hadis merupakan evolutif dari sunnah, yang dimulai dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar di kalangan umat muslim. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. Dan dalam posisis pemikirannyatentang sunnah dan hadis, merupakan elaborasi atas pemikiran-pemikiran tentang baik dari kalangan tradisionalis, modernis dan Barat













[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
[2] Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 8

[3] Ummi Sumbulah, hal. 9
[4] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011), hal. 59
[5] H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN Purwokerto Press: Yogyakarta, 2010), hal. 1-2
[6] H.M. Dailamy, hal. 7
[7] Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalam http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-FKIP-UNS.pdf&ei=VGR_Vc_lKcH8mAXQt4CQBg&usg=AFQjCNFizKIRtPBw5LQL9cXRYvwwUPx56w&sig2=STPHgMai8-0eASdRR8whvA&bvm=bv.95515949,d.dGY
[8] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 176
[9]Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran, jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
[10] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 179
[11] Kamarudin Amin dalam Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 170
[12] M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 45
[13] M.M. Azami, dalam kata pengantar
[14] Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 76
[15] Saifuddin, hal. 79
[16] Saifuddin, hal. 82
[17] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 181
[18] Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, hal. 183-184
[19] Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[20] Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman-, (Semarang: Wali Songo Press, 2009), hal. 32
[21]  Musahadi HAM, hal. 94-95
[22] Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 24
[23] Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, hal. 86-87
[24] Rahmat dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun 2014, hal. 25

Tuesday 21 October 2014

ORIENTALISME

A.    PENGERTIAN TAFSIR ORIENTALIS.
Pada dasarnya kata tafsir orientalis terbentuk dari dua pengertian yaitu tafsir dan orientalis. Tafsir dalam tradisi Islam mengandung pengertian mengungkap dan menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Quran dengan menjelaskan apa yang dikehendaki dari nash, isyarat ataupun tujuan-tujuan ayat Al-Quran.[1] Dalam tradisi barat penafsiran ini lebih dikenal sebagai hermeneutic, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Pandangan umum ini selalu dianggap benar. Hermeneutic dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.[2]
Orientalis adalah sarjana Barat yang berusaha mempelajari masa­lah-masalah ketimuran, menyangkut : agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran. Sedangkan Orientalisme, diartikan dengan ajaran atau paham tentang dunia timur yang dibentuk oleh opini barat.
Dalam salah satu sumber dijelaskan, bahwa Orientalisme, adalah suatu sifat atau kebiasaan untuk mengungkapkan karakteristik bangsa-bangsa timur atau upaya mempelajari soal-soal ketimuran. Dalam sumber lain di­jelaskan, bahwa orientalisme adalah :
1.      suatu cara dan kebiasaan yang secara khusus melakukan atau mem­berikan karakteristik terhadap dunia Timur,
2.      pengetahuan ilmiah yang membahas kebudayaan, bahasa dan bangsa-bangsa Timur.
Watt mengutip dari Oxford English Dictionary menjelaskan, bahwa orientalisme adalah suatu studi mengenai kebudayaan, peradaban Timur di antaranya Asia dan termasuk studi mengenai bahasa, sastra, sejarah dan agamanya.[3] Karena kajian ini dikhususkan dalam kajian Qur’an, maka definisi dunia timur ini dibatasi sebagai dunia islam secara keseluruhan. Karena islam muncul didunia timur.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud tafsir orientalis adalah suatu kajian penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh para sarjana barat dalam rangka memahami dan mengkaji dunia islam.
                                                                                                                 
B.     PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM TAFSIR ORIENTALIS
1. Pendekatan Historisisme.
Meskipun istilah "history" dan " historicism" mempunyai konotasi yang berbeda, tetapi bagaimanapun, istilah historicism tetap berakar dari makna history. Karena itu, perlu dijelaskan dahulu arti kata history. History, ber­asal dari bahasa Yunani : histor, artinya : mempelajari. Dalam bahasa Indonesia disebut sejarah. (Untuk selanjutnya digunakan istilah sejarah).[4]
Sejarah digunakan dalam dua arti :
(1)   Keterangan yang disajikan mengenai peristiwa dan tindakan masa lalu manusia,                     menunjukkan fakta yang terjadi
(2). Cerita-cerita yang disajikan mengenai masa lampau serta cara pe­nelitiannya, dengan jalan mana ditemukan dan dikonstruksi. meneliti dan mendiskripsikan apa yang terjadi.
Sejarah adalah ilmu yang berupa menggambarkan peristiwa masa silam. Masa silam merupaìkan perben­daharaan hidup manusia yang tertimbun oleh zaman, perlu diaktualkan agar manusia mengambil manfaat dari kekayaan hidup masa lalu untuk mengembangkan diri di masa kini dan masa depan.
Penulisan sejarah merupakan ilmu yang berkembang sejak berabad-abad yang lalu. St. Augustinus 354-430 M, mula-mula memperkenalkan bahwa proses sejarah adalah transenden. Sejarah adalah aspek dunia yang diciptakan Tuhan. "Sejarah mencakup seluruh kehidupan umat manusia, ia adalah se­jarah universal bukan sejarah lokal, regional atau kelompok bangsa se­bagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan Yunani dan Romawi. menurut Augustinus sejarah mempunyai permulaan yang diisi oleh ketetapan Tuhan yang merupakan bibit perkembangan menuju tujuannya. Sejarah dalam pengertian ini bersifat linear.
Corak sejarah yang berakar pada teologi mewarnai penulisan dan pterprestasi sejarah di Barat selama berabad-abad, kemudian pada abad jke-18/19 sejarah mulai memisahkan diri dari teologi (agama dalam pe­ngertian umum).
Dengan pemisahan itu, maka studi agama juga mulai berdiri sendiri sebagai ilmu yang otonom. Abad ke-19 studi agama berkembang sebagai studi akademik, terutama ketika Max Muller memunculkan kecenderungan baru untuk meneliti tugas studi agama, apa yang menjadi- landasannya serta proses pertumbuhannya. Di dunia Timur Islam telah tumbuh studi yang sama jauh sebelumnya. Menurut Mukti Ali, dirintis oleh Ali Ibnu Hazm (994-1064) dalam bukunya : Al Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal dan al-Syahrastany dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal.
Dari pembahasan diatas dapat dipahami Historisisme merupakan upaya mencari asal usul dan perkembangan suatu entitas termasuk institusi, kebenaran dan nilai sesuatu. Dengan menemukan asal usul dan per­kembangan sesuatu sudah merupakan penjelasan esensial terhadap sematu itu. Karena itu, menurut Meinecke tugas utama historisisme adalah mencari kausalitas atau apa yang menjadi penyebab suatu peristiwa sejarah. Mencari kausalitas dalam sejarah adalah tidak mungkin tanpa berkenaan dengan nilai, dan memahami nilai tidak mungkin tanpa memahami asal usulnya.
Historisisme berpandangan, bahwa kebiasaan dan institusi-institusi manusia. Karena itu, kebiasaan, adat istiadat serta institusi manusia tidak dapat dipahami tanpa Mencari sejarahnya. Manfaat psikoanalisa bagi historisisme adalah mencari asal usul Agama bukan dari wahyu, tetapi sumbernya ditemukan dalam kesadaran Psikis manusia, atau apa yang disebut Freud (1856-1939) dengan komplek Oidipus. Persamaan pendekatan Sejarah Agama (History of Religion) dengan; historisisme terletak pada sisi eksternal dari fenomena keagamaan yang diteliti dengan melihat perkembangan historisnya. Tetapi historisisme lebih radikal ketika mencari asal usul pertumbuhan institusi keagamaan atau kitab suci dalam konteks lingkungannya.



2. Pendekatan Fenomenologi.
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani : phainestai, arti­nya : "menunjukkan" dan "menampakkan dirinya sendiri". Sebelum Edmund Husserl (1859 - 1938), istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan nomina adalah realitas (dos sein) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan nomina yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau hal yang menjadi obyek kesadaran kita) yang kita kenal. Nomina yang nampak tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai "x" yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (nomina) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya tidak lain adalah hasil cerapan inderawi yang mem­bentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu merupakan realitas yang tidak dikenal pada dirinya sendiri (in se). Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas.
Edmund Husserl seorang filosof Jerman, pendiri filsafat fenome­nologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para pendahulunya. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realita itu mewujudkan diri atau menurut ungkapan Martin Heiddeger juga seorang fenomenolog : des Wesen des Sein das Menschenwesen brauch". (Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia). Nomina membutuhkan tempat tinggal (unterkunfi), ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.[5]
Fenomenologi Husserl ini dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi dengan menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama dibalik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan. Juga berfungsi sebagai sarana memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.

3. Pendekatan Teologi
Teologi (berasal dari bahasa Yunani : theos = Tuhan dan logos ilmu), adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas dunia.Dalam pengertian klasik, segala pembicaraan mengenai Tuhan disebut teologi. Persoalan pokok dalam teologi; adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan dalam kaitannya dengan pengalaman manusia.
Teologi juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memenuhi kriteria saintifik. Apa yang disebut saintifik adalah menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya, generalisasinya serta hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi, deduksi terhadap data pengalaman. Dalam cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang disajikan serta menyatukan seluruh isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan. Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai, pengetahuan mengenai realitas.
Akan tetapi ada faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu jeologi_mendasarkan diri pada wahyu, sedangkan ilmu pengetahuan lain berdasarkan pada akal dan indrawi merupakan sumber epistemologinya. Namun demikian, teologi juga menggunakan akal, tetapi fungsi akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis, mengklarifikasikan, mengkoordinasikan dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu. Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya. Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode transenden yang terjadi dalam empat tahap yaitu mengalami, memahami, menilai dan memutuskan. Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti menghayati makna-makna, penilaian adalah mencari atau menglkurikan kebenaran dan putusan adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai. Komitmen pada nilai (agama) diterima sebagai suatu norma yang perlu dipertahankan.
Agama sebagai obyek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu : Aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek penelitian sejarah agama dan fenomenologi-historis, sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan "kebenaran" untuk mengatur kehidupan individu dan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi.




[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: pustaka setia, 2000), hlm.141
[2] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm, 23.
[3] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.
[4] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm, 65
[5] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.