A. PENGERTIAN TAFSIR ORIENTALIS.
Pada dasarnya kata tafsir orientalis
terbentuk dari dua pengertian yaitu tafsir dan orientalis. Tafsir dalam tradisi
Islam mengandung pengertian mengungkap dan menjelaskan makna yang terkandung
dalam Al-Quran dengan menjelaskan apa yang dikehendaki dari nash, isyarat ataupun
tujuan-tujuan ayat Al-Quran.[1] Dalam tradisi barat
penafsiran ini lebih dikenal sebagai hermeneutic, yaitu proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Pandangan umum ini selalu
dianggap benar. Hermeneutic dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan
modern.[2]
Orientalis adalah
sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah
ketimuran,
menyangkut : agama, adat istiadat, bahasa, sastra
dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang
soal ketimuran. Sedangkan Orientalisme, diartikan dengan
ajaran atau paham tentang dunia timur yang dibentuk oleh opini barat.
Dalam salah satu sumber dijelaskan, bahwa
Orientalisme, adalah suatu sifat atau kebiasaan untuk mengungkapkan
karakteristik bangsa-bangsa timur atau upaya mempelajari soal-soal ketimuran.
Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa orientalisme adalah :
1. suatu cara dan kebiasaan yang secara khusus melakukan atau memberikan
karakteristik terhadap dunia Timur,
2. pengetahuan ilmiah yang membahas kebudayaan, bahasa dan bangsa-bangsa Timur.
Watt mengutip
dari Oxford English Dictionary menjelaskan,
bahwa orientalisme adalah suatu studi mengenai kebudayaan, peradaban Timur di
antaranya Asia dan termasuk studi mengenai bahasa, sastra, sejarah dan
agamanya.[3] Karena kajian ini dikhususkan
dalam kajian Qur’an, maka definisi dunia timur ini dibatasi sebagai dunia islam
secara keseluruhan. Karena islam muncul didunia timur.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan yang
dimaksud tafsir orientalis adalah suatu kajian penafsiran Al-Qur’an yang
dilakukan oleh para sarjana barat dalam rangka memahami dan mengkaji dunia
islam.
B.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
DALAM TAFSIR ORIENTALIS
1. Pendekatan Historisisme.
Meskipun istilah "history" dan " historicism"
mempunyai konotasi yang berbeda, tetapi bagaimanapun, istilah historicism
tetap
berakar dari makna history. Karena itu, perlu dijelaskan
dahulu arti kata history. History, berasal dari bahasa Yunani : histor, artinya : mempelajari. Dalam
bahasa Indonesia disebut
sejarah. (Untuk selanjutnya digunakan istilah sejarah).[4]
Sejarah digunakan dalam dua arti
:
(1) Keterangan yang disajikan mengenai peristiwa
dan tindakan masa lalu manusia, menunjukkan fakta yang
terjadi
(2). Cerita-cerita yang disajikan mengenai masa lampau
serta cara penelitiannya, dengan jalan mana ditemukan dan dikonstruksi. meneliti dan mendiskripsikan apa yang
terjadi.
Sejarah adalah ilmu yang berupa menggambarkan
peristiwa masa silam. Masa silam merupaìkan perbendaharaan hidup manusia yang tertimbun oleh zaman, perlu diaktualkan
agar manusia mengambil manfaat dari kekayaan hidup masa lalu untuk
mengembangkan diri di masa kini dan masa depan.
Penulisan
sejarah merupakan ilmu yang berkembang sejak berabad-abad yang lalu. St. Augustinus 354-430 M, mula-mula memperkenalkan bahwa proses sejarah
adalah transenden. Sejarah adalah aspek dunia yang diciptakan Tuhan.
"Sejarah mencakup seluruh kehidupan umat manusia, ia adalah sejarah
universal bukan sejarah lokal, regional atau kelompok bangsa sebagaimana yang
dikemukakan oleh sejarawan Yunani dan Romawi. menurut Augustinus sejarah mempunyai permulaan yang diisi oleh ketetapan
Tuhan yang merupakan bibit perkembangan menuju tujuannya. Sejarah
dalam pengertian ini bersifat linear.
Corak
sejarah yang berakar pada teologi mewarnai penulisan dan pterprestasi sejarah
di Barat selama berabad-abad, kemudian pada abad jke-18/19 sejarah mulai
memisahkan diri dari teologi (agama dalam pengertian umum).
Dengan
pemisahan itu, maka studi agama juga mulai berdiri sendiri sebagai ilmu yang
otonom. Abad ke-19 studi agama berkembang sebagai studi akademik, terutama
ketika Max Muller memunculkan kecenderungan baru untuk meneliti tugas studi
agama, apa yang menjadi- landasannya serta proses pertumbuhannya. Di dunia
Timur Islam telah tumbuh studi yang sama jauh sebelumnya. Menurut Mukti Ali,
dirintis oleh Ali Ibnu Hazm (994-1064) dalam bukunya : Al Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal dan al-Syahrastany dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal.
Dari pembahasan diatas dapat
dipahami Historisisme merupakan upaya mencari asal usul dan perkembangan suatu entitas termasuk
institusi, kebenaran dan nilai sesuatu. Dengan menemukan asal usul dan perkembangan
sesuatu sudah merupakan penjelasan esensial terhadap sematu itu. Karena itu,
menurut Meinecke tugas utama historisisme adalah mencari kausalitas atau
apa yang menjadi penyebab suatu peristiwa sejarah. Mencari kausalitas dalam
sejarah adalah tidak mungkin tanpa berkenaan dengan nilai, dan memahami nilai
tidak mungkin tanpa memahami asal usulnya.
Historisisme
berpandangan,
bahwa kebiasaan dan
institusi-institusi manusia. Karena itu, kebiasaan, adat istiadat serta institusi manusia tidak dapat dipahami tanpa Mencari
sejarahnya. Manfaat psikoanalisa bagi historisisme adalah mencari asal usul Agama bukan dari wahyu, tetapi sumbernya ditemukan dalam
kesadaran Psikis
manusia, atau apa yang
disebut Freud (1856-1939) dengan komplek Oidipus. Persamaan pendekatan Sejarah Agama (History
of Religion)
dengan; historisisme
terletak pada sisi eksternal dari fenomena keagamaan yang diteliti dengan
melihat perkembangan historisnya. Tetapi historisisme lebih radikal ketika
mencari asal usul pertumbuhan institusi keagamaan atau kitab suci dalam konteks
lingkungannya.
2. Pendekatan Fenomenologi.
Istilah
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani : phainestai, artinya : "menunjukkan" dan "menampakkan dirinya
sendiri". Sebelum Edmund Husserl (1859 - 1938), istilah tersebut telah
digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakan sesuatu dalam
kesadaran, sedangkan nomina adalah realitas (dos sein) yang berada di
luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena
yang nampak dalam kesadaran, bukan nomina yaitu realitas di luar (berupa
benda-benda atau hal yang menjadi obyek kesadaran kita) yang kita kenal. Nomina
yang nampak tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai "x" yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari
kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan
dengan realitas (nomina) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya
tidak lain adalah hasil cerapan inderawi yang membentuk pengalaman batin yang
diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu merupakan realitas yang
tidak dikenal pada dirinya sendiri (in se). Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari
realitas.
Edmund Husserl seorang filosof
Jerman, pendiri filsafat fenomenologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan
para pendahulunya. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realita itu mewujudkan
diri atau menurut ungkapan Martin Heiddeger juga seorang fenomenolog : des Wesen des Sein das Menschenwesen brauch". (Sifat
realitas itu membutuhkan keberadaan manusia). Nomina membutuhkan tempat tinggal
(unterkunfi), ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.[5]
Fenomenologi Husserl ini dijadikan
sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama
sebagai objek studi dengan menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana yang
ditunjukkan oleh agama itu sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah
meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama dibalik manifestasinya
yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan. Juga
berfungsi sebagai sarana memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya
manusia.
3.
Pendekatan Teologi
Teologi (berasal dari bahasa Yunani : theos
= Tuhan dan logos
ilmu), adalah ilmu yang
mempelajari tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas dunia.Dalam pengertian klasik, segala pembicaraan mengenai Tuhan disebut teologi.
Persoalan pokok dalam teologi; adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan
dalam kaitannya dengan pengalaman manusia.
Teologi
juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memenuhi kriteria saintifik. Apa
yang disebut saintifik adalah menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya,
generalisasinya serta hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi, deduksi terhadap
data pengalaman. Dalam cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang
disajikan serta menyatukan seluruh
isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan. Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai, pengetahuan
mengenai realitas.
Akan
tetapi ada faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu
pengetahuan lainnya, yaitu jeologi_mendasarkan diri pada wahyu, sedangkan ilmu
pengetahuan lain berdasarkan pada akal dan indrawi merupakan sumber
epistemologinya. Namun demikian, teologi juga menggunakan akal, tetapi fungsi
akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis, mengklarifikasikan,
mengkoordinasikan dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu.
Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi
argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya. Sebagai salah satu
cabang ilmu pengetahuan agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode
transenden yang terjadi dalam empat tahap yaitu mengalami, memahami, menilai
dan memutuskan. Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti
menghayati makna-makna, penilaian adalah mencari atau menglkurikan kebenaran
dan putusan adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai. Komitmen pada nilai
(agama) diterima sebagai suatu norma yang perlu dipertahankan.
Agama
sebagai obyek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu : Aspek historis dan aspek
normatif. Aspek historis menjadi obyek penelitian sejarah agama dan fenomenologi-historis,
sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan
pengakuan akan "kebenaran" untuk mengatur kehidupan individu dan
sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi.
[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: pustaka setia, 2000),
hlm.141
[2] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), hlm, 23.
[3] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat,
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.
[4] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat,
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm, 65
[5] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat,
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.
smg manfaat...!!!
ReplyDelete:)