Tuesday 21 October 2014

ORIENTALISME

A.    PENGERTIAN TAFSIR ORIENTALIS.
Pada dasarnya kata tafsir orientalis terbentuk dari dua pengertian yaitu tafsir dan orientalis. Tafsir dalam tradisi Islam mengandung pengertian mengungkap dan menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Quran dengan menjelaskan apa yang dikehendaki dari nash, isyarat ataupun tujuan-tujuan ayat Al-Quran.[1] Dalam tradisi barat penafsiran ini lebih dikenal sebagai hermeneutic, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Pandangan umum ini selalu dianggap benar. Hermeneutic dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.[2]
Orientalis adalah sarjana Barat yang berusaha mempelajari masa­lah-masalah ketimuran, menyangkut : agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran. Sedangkan Orientalisme, diartikan dengan ajaran atau paham tentang dunia timur yang dibentuk oleh opini barat.
Dalam salah satu sumber dijelaskan, bahwa Orientalisme, adalah suatu sifat atau kebiasaan untuk mengungkapkan karakteristik bangsa-bangsa timur atau upaya mempelajari soal-soal ketimuran. Dalam sumber lain di­jelaskan, bahwa orientalisme adalah :
1.      suatu cara dan kebiasaan yang secara khusus melakukan atau mem­berikan karakteristik terhadap dunia Timur,
2.      pengetahuan ilmiah yang membahas kebudayaan, bahasa dan bangsa-bangsa Timur.
Watt mengutip dari Oxford English Dictionary menjelaskan, bahwa orientalisme adalah suatu studi mengenai kebudayaan, peradaban Timur di antaranya Asia dan termasuk studi mengenai bahasa, sastra, sejarah dan agamanya.[3] Karena kajian ini dikhususkan dalam kajian Qur’an, maka definisi dunia timur ini dibatasi sebagai dunia islam secara keseluruhan. Karena islam muncul didunia timur.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud tafsir orientalis adalah suatu kajian penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh para sarjana barat dalam rangka memahami dan mengkaji dunia islam.
                                                                                                                 
B.     PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM TAFSIR ORIENTALIS
1. Pendekatan Historisisme.
Meskipun istilah "history" dan " historicism" mempunyai konotasi yang berbeda, tetapi bagaimanapun, istilah historicism tetap berakar dari makna history. Karena itu, perlu dijelaskan dahulu arti kata history. History, ber­asal dari bahasa Yunani : histor, artinya : mempelajari. Dalam bahasa Indonesia disebut sejarah. (Untuk selanjutnya digunakan istilah sejarah).[4]
Sejarah digunakan dalam dua arti :
(1)   Keterangan yang disajikan mengenai peristiwa dan tindakan masa lalu manusia,                     menunjukkan fakta yang terjadi
(2). Cerita-cerita yang disajikan mengenai masa lampau serta cara pe­nelitiannya, dengan jalan mana ditemukan dan dikonstruksi. meneliti dan mendiskripsikan apa yang terjadi.
Sejarah adalah ilmu yang berupa menggambarkan peristiwa masa silam. Masa silam merupaìkan perben­daharaan hidup manusia yang tertimbun oleh zaman, perlu diaktualkan agar manusia mengambil manfaat dari kekayaan hidup masa lalu untuk mengembangkan diri di masa kini dan masa depan.
Penulisan sejarah merupakan ilmu yang berkembang sejak berabad-abad yang lalu. St. Augustinus 354-430 M, mula-mula memperkenalkan bahwa proses sejarah adalah transenden. Sejarah adalah aspek dunia yang diciptakan Tuhan. "Sejarah mencakup seluruh kehidupan umat manusia, ia adalah se­jarah universal bukan sejarah lokal, regional atau kelompok bangsa se­bagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan Yunani dan Romawi. menurut Augustinus sejarah mempunyai permulaan yang diisi oleh ketetapan Tuhan yang merupakan bibit perkembangan menuju tujuannya. Sejarah dalam pengertian ini bersifat linear.
Corak sejarah yang berakar pada teologi mewarnai penulisan dan pterprestasi sejarah di Barat selama berabad-abad, kemudian pada abad jke-18/19 sejarah mulai memisahkan diri dari teologi (agama dalam pe­ngertian umum).
Dengan pemisahan itu, maka studi agama juga mulai berdiri sendiri sebagai ilmu yang otonom. Abad ke-19 studi agama berkembang sebagai studi akademik, terutama ketika Max Muller memunculkan kecenderungan baru untuk meneliti tugas studi agama, apa yang menjadi- landasannya serta proses pertumbuhannya. Di dunia Timur Islam telah tumbuh studi yang sama jauh sebelumnya. Menurut Mukti Ali, dirintis oleh Ali Ibnu Hazm (994-1064) dalam bukunya : Al Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal dan al-Syahrastany dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal.
Dari pembahasan diatas dapat dipahami Historisisme merupakan upaya mencari asal usul dan perkembangan suatu entitas termasuk institusi, kebenaran dan nilai sesuatu. Dengan menemukan asal usul dan per­kembangan sesuatu sudah merupakan penjelasan esensial terhadap sematu itu. Karena itu, menurut Meinecke tugas utama historisisme adalah mencari kausalitas atau apa yang menjadi penyebab suatu peristiwa sejarah. Mencari kausalitas dalam sejarah adalah tidak mungkin tanpa berkenaan dengan nilai, dan memahami nilai tidak mungkin tanpa memahami asal usulnya.
Historisisme berpandangan, bahwa kebiasaan dan institusi-institusi manusia. Karena itu, kebiasaan, adat istiadat serta institusi manusia tidak dapat dipahami tanpa Mencari sejarahnya. Manfaat psikoanalisa bagi historisisme adalah mencari asal usul Agama bukan dari wahyu, tetapi sumbernya ditemukan dalam kesadaran Psikis manusia, atau apa yang disebut Freud (1856-1939) dengan komplek Oidipus. Persamaan pendekatan Sejarah Agama (History of Religion) dengan; historisisme terletak pada sisi eksternal dari fenomena keagamaan yang diteliti dengan melihat perkembangan historisnya. Tetapi historisisme lebih radikal ketika mencari asal usul pertumbuhan institusi keagamaan atau kitab suci dalam konteks lingkungannya.



2. Pendekatan Fenomenologi.
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani : phainestai, arti­nya : "menunjukkan" dan "menampakkan dirinya sendiri". Sebelum Edmund Husserl (1859 - 1938), istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan nomina adalah realitas (dos sein) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan nomina yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau hal yang menjadi obyek kesadaran kita) yang kita kenal. Nomina yang nampak tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai "x" yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (nomina) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya tidak lain adalah hasil cerapan inderawi yang mem­bentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu merupakan realitas yang tidak dikenal pada dirinya sendiri (in se). Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas.
Edmund Husserl seorang filosof Jerman, pendiri filsafat fenome­nologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para pendahulunya. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realita itu mewujudkan diri atau menurut ungkapan Martin Heiddeger juga seorang fenomenolog : des Wesen des Sein das Menschenwesen brauch". (Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia). Nomina membutuhkan tempat tinggal (unterkunfi), ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.[5]
Fenomenologi Husserl ini dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi dengan menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama dibalik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan. Juga berfungsi sebagai sarana memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.

3. Pendekatan Teologi
Teologi (berasal dari bahasa Yunani : theos = Tuhan dan logos ilmu), adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas dunia.Dalam pengertian klasik, segala pembicaraan mengenai Tuhan disebut teologi. Persoalan pokok dalam teologi; adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan dalam kaitannya dengan pengalaman manusia.
Teologi juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memenuhi kriteria saintifik. Apa yang disebut saintifik adalah menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya, generalisasinya serta hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi, deduksi terhadap data pengalaman. Dalam cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang disajikan serta menyatukan seluruh isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan. Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai, pengetahuan mengenai realitas.
Akan tetapi ada faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu jeologi_mendasarkan diri pada wahyu, sedangkan ilmu pengetahuan lain berdasarkan pada akal dan indrawi merupakan sumber epistemologinya. Namun demikian, teologi juga menggunakan akal, tetapi fungsi akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis, mengklarifikasikan, mengkoordinasikan dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu. Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya. Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode transenden yang terjadi dalam empat tahap yaitu mengalami, memahami, menilai dan memutuskan. Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti menghayati makna-makna, penilaian adalah mencari atau menglkurikan kebenaran dan putusan adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai. Komitmen pada nilai (agama) diterima sebagai suatu norma yang perlu dipertahankan.
Agama sebagai obyek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu : Aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek penelitian sejarah agama dan fenomenologi-historis, sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan "kebenaran" untuk mengatur kehidupan individu dan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi.




[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: pustaka setia, 2000), hlm.141
[2] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm, 23.
[3] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.
[4] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm, 65
[5] Moh Nasir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an Dimata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), hlm,36.

1 comment: